Alergi dengan ramainya semarak menyambut malam pergantian tahun? Kalau Anda merupakan salah satu orang yang merasa terganggu dan berpikir bahwa hal itu tidak ada gunanya, tentu banyak yang mengalami dan pasti banyak orang yang setuju dengan pendapat Anda.
Tepat 4 tahun yang lalu, malam pergantian tahun menjadi sebuah catatan peristiwa penting dalam hidup saya. Menyambut libur akhir tahun saat bahagia ketika lahir anak kami yang ke-2 beberapa hari sebelum masuk di penghujung bulan Desember dan saat itu kami sedang mempersiapkan acara potong kambing untuk akikah si kecil. Tapi tepat di tanggal 31, telpon yang berdering kurang lebih jam 1 siang membuat suasana berubah 180 derajat. Suara Kakak tertua saya di seberang sana terdengar parau memberi kabar yang sesaat langsung membuat tenggorokan tercekat. Innalilahi wa inna ilaihi raji’un..kabar yang sungguh menyesakkan dada, Ayahanda tercinta telah berpulang dipanggil menghadap Sang Maha Pencipta.
Kabar yang sangat mengejutkan karena meski memang sudah berusia tua (tutup usia di umur 72 tahun), kondisi Bapak dalam keadaan sehat, tidak ada kabar sakit sebelumnya. Bapak meninggal terjatuh sesaat setelah mengambil air wudhu untuk sholat dhuhur. Ibu yang telah menunggu di ruang sholat tidak pernah terpikirkan bahwa penantiannya tidak bakal bisa terwujud, waktu menunggunya untuk sholat dhuhur berjamaah dengan suami tercinta ternyata tidak bisa terlaksana saat itu dan untuk selanjutnya, karena takdir maut telah memisahkan. Semoga Ayahanda tercinta menjadi khusnul khotimah dan diterima amal ibadahnya di sisi-Nya. Aamiin.
Jarak yang memisahkan dengan kampung halaman membuat saya memutuskan segera bergegas siap-siap pulang kampung. Karena melihat kondisi, akhirnya diputuskan saya berangkat sendiri. Dengan mengucap Basmallah, kaki menginjak pedal gas meluncur menuju rumah Kakak yang masih di Jakarta untuk berangkat bersama. Sepanjang jalan kami lebih banyak diam membisu, hanya sesekali obrolan, selebihnya penuh dengan kecamuk pikiran di kepala kami masing-masing.
Maghrib menjelang ketika kita keluar Tol Cikampek dan mulai memasuki jalur Pantura. Suasana malam mulai terlihat dengan lampu terang di sepanjang jalan.
Jalanan sesekali tersendat dan terlihat di sepanjang jalur Pantura terlihat lebih berwarna-warni. Saya baru tersadar ketika malam mulai menjelang, keramaian di jalan bertambah dan tentu saja perjalanan juga tersendat. Ternyata malam ini adalah malam pergantian tahun dan di sepanjang jalan ramai sekali orang berlalu lalang dan di beberapa titik tampak diwarnai dengan panggung pertunjukan. Suara terompet yang saling bersautan diiringi bunyi petasan yang menggelegar dan warna warni kembang api bertaburan di malam itu. Sungguh sebuah suasana yang jauh berbeda dengan kondisi yang sunyi di hati kami karena ditinggal oleh Ayahanda tercinta.
Dengan bergantian pegang stir meski tidak bisa benar-benar memejamkan mata sepanjang perjalanan, akhirnya menjelang Subuh kami tiba di kampung halaman, rumah tercinta sekaligus rumah duka saat itu. Tidak kuasa air mata meleleh ketika memandang wajah Ayahanda yang damai dan mencium keningnya untuk terakhir kalinya, meski saya cukup ikhlas dengan kepergian Ayahanda tercinta. Jam 9 pagi kami mengantarkan jenazah untuk dikebumikan. Doa kami selalu menyertaimu Ayah…
Malam hari setelah pengajian dan doa bersama, suasana mulai sepi. Beberapa orang kerabat dan tetangga dekat masih berkumpul sambil ngobrol di teras rumah. Suara terompet dan petasan sesekali masih terdengar sisa dari keramaian malam tahun baru kemarin. Saya tiduran di kursi panjang ruang tamu sambil termenung. Di kursi panjang ini Bapak sering menghabiskan malam ketika kami sekeluarga dan kakak-kakak yang lain pulang kampung, minimal satu tahun sekali saat lebaran tiba atau ketika ada libur panjang. Alasan Bapak cukup sederhana, beliau sengaja tiduran di kursi panjang tersebut dengan gordyn jendela sedikit terbuka untuk bisa mengawasi mobil kami yang diparkir di depan rumah yang kebetulan pinggir jalan utama kampung. Berkali-kali kami bilang, “kan aman di rumah sendiri”. Tapi bukan itu yang Bapak risaukan, beliau khawatir kalau ada orang yang terganggu dengan mobil yang diparkir di pinggir jalan tersebut karena pasti akan memakan badan jalan dan bisa jadi mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Memang sudah seringkali Bapak berencana membuat tambahan garasi di rumah karena saat itu hanya muat satu mobil di rumah dan bahkan rencana tambah garasi itu saat saya masih di bangku sekolah, jadi saat itu Bapak sudah punya impian bahwa anak-anaknya kalau kerja jauh nanti ketika pulang menengok kampung halaman sudah disiapkan tempat. Setelah akhirnya saat saya dan Kakak di atas saya ternyata benar-benar hidup di luar kota (saudara yang lain di seputaran kota tempat lahir), kami pun berkali-kali masih juga mematahkan rencana tersebut dengan dalih bahwa hanya sesekali kita pulang kampung jadi toh sementara parkir di pinggir jalan juga tidak apa-apa. Akhirnya dua tahun yang lalu, Ibunda tercinta merealisasikan rencana Bapak yang masih tertunda itu. Sebuah bangunan baru yang bisa menampung mobil-mobil kami saat liburan pulang kampung berdiri di samping mushola kecil samping rumah, tempat Ibu menunggu Bapak untuk sholat dhuhur berjamaah 4 tahun yang lalu.
Kami mengagumi sosok Bapak yang keras dan konservatif tapi punya prinsip. Beliau merupakan sosok pekerja keras dan berdedikasi tinggi untuk keluarga. Sehabis pulang kerja, hobby Bapak yang masih dilakukan setelah masa pensiun adalah “jalan-jalan” nengokin sawah dan tegalan sambil memanggul cangkul di pundak, persis sosok petani di buku pelajaran SD. Pulangnya bawa tentengan buah pisang, ubi atau ikan gabus, belut dan lainnya. Kami merupakan keluarga besar dan saya adalah anak bungsu dari 6 bersaudara. Masih jelas membekas dalam ingatan saat saya dihukum ketika mulai mengenal nikmatnya rokok di usia belia, meski sampai akhir hayatnya Bapak adalah seorang perokok aktif. Masih teringat di kepala saat masa kecil dulu ikut menguping diskusi berat Bapak dan Ibu ketika 4 orang kakak tertua tiba waktunya bayar uang kuliah. Sebagai pasangan pegawai negeri saat itu tentunya secara ekonomi cukup terbatas. Tapi Bapak punya keinginan bahwa semua anaknya harus lulus sarjana, urusan yang lain pasti ada jalannya. Dan Alhamdulillah, sebelum akhir hayatnya Bapak terlaksana melihat semua anaknya menyandang gelar sarjana.
Dan hari ini ketika mentari sudah kembali ke peraduannya, malam pergantian tahun sudah menanti. Mulai terdengar suara terompet dan petasan di luar sana yang kembali mengingatkan memori 4 tahun silam. Berita berbagai perayaan menyambut tahun baru ramai mengisi layar televisi. Cuaca bulan Desember dengan hujannya tidak meyurutkan rencana pagelaran yang meriah menyambut pergantian tahun. Kalau banyak yang berpendapat perayaan tahun baru tidak ada gunanya, saya bukan salah satu di antaranya. Bukannya saya setuju 100% terhadap hal hura-hura yang dilakukan, tapi lebih ke arah memaknai malam pergantian tahun dengan lebih spesial dari tanggal sebelumnya. Secara psikologis, menjadikan sesuatu menjadi hal yang spesial akan menumbuhkan sebuah motivasi baru. Bagaimana manifestasinya? Bagi sebagian orang petasan, kembang api, terompet merupakan salah satu manifestasi dari curahan rasa spesial itu.
Bagi saya malam pergantian tahun merupakan momen yang istimewa. Saat dimana saya mendapatkan pelajaran tentang makna kehidupan dari sosok Ayah tercinta yang tutup usia di akhir tutup tahun dan munculnya sosok kecil baru sebagai pembuka lembaran baru di kehidupan kami. Semoga saya bisa menjadi seorang kepala keluarga yang lebih baik lagi bagi istri dan anak-anak seperti saya mengagumi sosok Ayahanda tqercinta.
Catatan kecil :
Malam ini keluarga besar datang dari kampung halaman, terompet dan kembang api sudah di tangan krucil menyambut kedatangan mereka. Jagung bakar dan ikan bakar siap meramaikan suasana. Kebersamaan dan keramaian canda tawa ceria anak-anak di rumah mungil kami. Tidak lupa doa teriring buat Ayahanda kami tercinta.
Salam Gowes,
It's All About Bicycle |
0 comments:
Post a Comment