Ya, membahas tentang jajan pada anak-anak saya jadi teringat dengan sebuah metode untuk analisa menemukan akar masalah (root cause) dari sebuah kejadian atau kondisi. Kondisi di sini adalah mengenai fenomena anak-anak yang suka jajan. Analisa “5 WHY” mungkin tidak perlu kita bahas secara bertingkat dan detail jauh ke dalamnya. Yang menjadi point-nya adalah kita coba cari tahu “Why”, mengapa anak suka jajan? Dengan mencoba mencari tahu penyebabnya, tentunya kita bisa menciptakan solusi yang tepat untuk menanganinya. Coba kita lihat dari beberapa parameter dan sudut pandang.
Yang pertama kita coba analisa dari sisi psikologis, “Why” mengapa anak suka jajan?
Kita semua pasti pernah mengalami masa kanak-kanak, bukan? Nah, coba kita ingat lagi masa-masa penuh canda tawa ceria itu. Kita coba gali dari sudut pandang “mereka”, bukan dari sisi “kita”. Seringkali kita begitu khawatirnya terhadap anak-anak kita, terutama masalah pola makan terkait jajanan di sekolah. Dan seringkali juga kita bingung untuk mencari solusi mengenai hal ini. Melarang anak untuk tidak jajan di sekolah sama artinya melarang anak untuk menikmati kesenangannya. Secara pskologis, semakin keras kita melarang anak-anak, semakin besar juga keinginan anak untuk jajan secara sembunyi-sembunyi. Jadi alangkah baiknya kita sebagai orang tua menghindari kata “JANGAN” atau “TIDAK BOLEH”. Coba kita ganti dengan kata-kata positif untuk menunjukkan sesuatu yang lebih baik.
Misalnya, “Lebih enak masakan Mama di rumah lho..”, “Nanti Mama buatkan makanan kesukaan Adek buat bekal ya..?”
Secara psikologis anak-anak dan orang dewasa juga pasti suka dengan berbagai variasi makanan, bukan sesuatu yang monoton. Jadi coba buatkan atau berikan bekal yang beragam buat si Kecil. Bekal makanan dengan menu yang bervariasi akan membuat anak tidak bosan dan tentunya akan memicu kreatifitas dari orang tua untuk berkreasi. Coba fokus pada visual dibandingkan cita rasa. Penyajian bekal makanan yang menarik akan membuat si Kecil tertarik dan bisa jadi menarik perhatian teman-temannya juga sehingga bisa jadi media untuk mengajarkan si Kecil untuk berbagi.
Faktor kedua kita bisa gali dari sudut pandang eksternal, yaitu lingkungan sang anak.
Lingkungan bisa berupa teman sekolahnya atau pun lingkungan di sekolah. coba kita lakukan observasi kecil terhadap teman-temannya, apakah mereka membawa bekal makanan dari rumah atau diberi uang saku untuk jajan oleh orang tuanya? Jika banyak teman si Kecil yang membawa bekal dari rumah, tentunya akan memicu anak kita untuk ikut ke dalam komunitas tersebut. Tentu saja hal sebaliknya akan terjadi jika teman-teman sekolahnya lebih banyak yang diberi bekal uang saku untuk jajan. Salah satu cara untuk pendekatan menghadapi kondisi ini adalah dengan coba interaksi dengan orang tua dari teman-teman si Kecil. Bisa dengan janjian untuk membawa bekal untuk si Kecil di hari-hari tertentu. Atau kalau masing-masing terbentur dengan kesibukan, bisa coba kolektif pesan menu katering yang terpercaya.
Faktor lingkungan yang lain adalah kondisi dan kebijakan sekolah. Adanya penjual jajanan di sekolah tentunya akan menarik perhatian anak-anak. Sesuai hukum ekonomi tentunya ada supply and demand, simbiosis mutualisme terbentuk antara penjual dan anak-anak sekolah. Melarang anak-anak untuk jajan di kantin sekolah adalah solusi yang akan menyulitkan buat kita sebagai orang tua untuk mengontrolnya, demikian juga bagi si anak karena merasa dibatasi karena kantin sekolah bisa dimanfaatkan sebagai media sosialisasi antar teman dalam suasana santai saat istirahat. Pihak sekolah akan lebih baik jika mengelola para penjual secara terorganisir sehingga bisa melakukan kontrol dari sisi konten makanan yang dijual juga dari sisi kebersihan penyajiannya. Kesepakatan dan aturan yang ditetapkan antara pihak sekolah dengan para penjual jajanan akan memberikan jaminan kesehatan, keamanan dan juga kesehatan buat konsumsi jajan anak di sekolah.
Faktor berikutnya yang perlu kita perhatikan adalah gaya hidup atau kebiasaan.
Konsistensi kita dalam mendidik dan mengajarkan sesuatu kepada anak akan menciptakan sebuah kebiasaan yang bisa kita sebut sebagai habit atau gaya hidup. Kebiasaan kita untuk membawakan bekal buat si Kecil meski seringkali tidak habis akan membuat anak kita merasa punya “kewajiban” untuk minimal mencicipi makanan bekalnya. Jika secara konsisten dan coba berbagai variasi makanan, lama-lama si Kecil akan “tertarik” dengan bekal bawaannya. Biasakan juga untuk membawakan bekal sedikit lebih sehingga bisa berbagi dengan temannya.
Parameter lainnya adalah kita harus tahu bahwa si Kecil adalah peniru ulung.
Anak-anak merupakan cermin atau photo copy dari perilaku orang tua atau orang di sekitarnya. Mengapa anak kita suka jajan? Bisa jadi karena orang tuanya punya kebiasaan setiap hari nongkrong di depan rumah menanti tukang somay lewat *senyum. Orang tua yang gemar memasak atau membiasakan makan bersama di rumah akan menciptakan rasa kebersamaan untuk menikmati masakan rumah dibandingkan jajanan di luar.
Kita coba lihat dari sudut objeknya, yaitu makanan atau jajanannya.
Cita rasa tentunya sangat mempengaruhi selera makan kita. Sekarang ini mudah sekali kita dapatkan bumbu instan untuk cita rasa makanan. Kita perlu hati-hati dengan ketergantungan lidah terhadap cita rasa. Jika lidah si Kecil biasa merasakan bumbu instan, dia akan sulit untuk merasakan enaknya masakan rumah dengan bumbu alami, apalagi sang Mama sebagai chef masih amatiran sehingga rasa yang muncul menjadi amburadul. Solusinya bisa coba berbagai menu masakan dari resep-resep yang direkomendasikan oleh ahli masak profesional.
Faktor yang tidak kalah penting adalah proses penyajian.
Seringkali anak-anak dengan sabar dan penuh rasa tertarik menunggu matangnya kue serabi yang sedang dimasak oleh penjual jajanan. Prosesi pembuatan kue tersebut menjadi sebuah daya tarik bagi imajinasi si Kecil. Coba sesekali ikut sertakan anak kita saat prosesi pembuatan bekal buatnya di sekolah. Membawa bekal hasil karya “sendiri” bisa jadi merupakan kebanggaan buat anak-anak yang bisa diceritakan ke teman-temannya.
Tentunya masih banyak lagi faktor yang bisa kita gali untuk mencari tahu “WHY”yang lain, mengapa anak suka jajan? Setelah kita mendapatkan penyebab atau pemicu mengapa anak-anak suka jajan, tentunya akan lebih mudah bagi kita untuk membuat corrective action berikutnya sebagai alternatif solusi. Satu hal yang perlu diingat, mengarahkan anak bukan dengan melarang untuk jajan karena jangankan anak-anak, orang tua pun suka JAJAN, asal tidak sembarangan.*senyum
Salam Gowes,
It's All About Bicycle |
0 comments:
Post a Comment